Pada
suatu hari ketika perkuliahan sedang berlangsung (jiaaahh, sok naratif gitu
hehe), ada seorang teman saya bertanya kepada dosen…. But eiittss sebentar,
anyway kayanya kita belum kenalan yah? Maklum berhubung saya sedikit terserang
penyakit pikun, jadi kelupaan deh ngenalin diri di postingan pertama kemaren,
hehe. Well… btw saya seorang mahasiswi
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, lebih spesifiknya seorang mahasiswi Diploma 1
spesialisasi Perpajakan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara di Balai Diklat
Keuangan Palembang. Bangga banget deh
rasanya bisa masuk ke salah satu sekolah tinggi kedinasan di Indonesia
yang memang udah jadi idaman saya sejak masih SMP, dan sampe sekarang dong,
hehehe. Diploma 1 ? Gak masalah! Yang penting perpajakan, wkwk.
Well,
teman-teman, Bapak-Ibu, Mas-Mbak, adik-adik semuanya, we’ll back to the topic.
Sampe dimana tadi ? eh iyaaa…. Jadi gini, waktu itu, ketika mata kuliah Etika
Profesi oleh Bapak Ali Azcham Noveansyah, ada seorang teman saya, sebut saja Bunga
(berhubung beliau tidak ingin disebutkan namanya), bertanya,
“Marah yang beretika itu, bagaimana ya
Pak ?”
Iya
yah ? Dan saya pun berpikir, marah? Tetap bisakah beretika?
Setelah
mendengarkan apa yang telah dosen saya sampaikan, juga, setelah googling sana-sini, akhirnya
saya menyimpulkan bahwa :
Etika
dan marah adalah dua hal yang bertolak belakang. Etika adalah norma yang dapat
menuntun manusia untuk bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang
buruk. Sementara para ahli etika mendefinisikan amarah sebagai sebuah tindakan
fisik yang karenanya darah di jantung bergejolak. Oleh karena itu, ia menyebar
ke arteri-arteri serta mencapai puncak tubuh dan membuat otak sama sebagaimana
gua di mana api dinyalakan untuk menghitamkan sisi-sisinya dan menyebabkan obor
yang kecil itu padam. Lalu, wajah dan mata memerah (Perfect Morality, 4/386).
Mereka menambahkan bahwa darah, ketika tegang, membuat suatu gerakan yang
garang dan bengis yang memenuhi otak, serta saraf-saraf lainnya dengan asap
yang gelap. Asap semacam itu menutupi kecerahan intelektual serta melemahkan
aksi otak. Terkadang kasar dan kuat menyatu pada sikap ketika sedang marah.
Dengan
begitu, bisakah marah, sebagai suatu
tindakan yang cenderung berujung pada
keburukan/kemudharatan yang seharusnya dihindarkan, disatukan dengan etika yang
menuntun kita untuk bertindak secara baik dan menghindari sesuatu yang buruk ?
Memang
benar, dalam Islam ada dua hakikat marah, yakni marah yang terpuji dan marah
yang tercela. Marah yang terpuji, yaitu bila dilakukan dalam rangka membela
diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang
dizhalimi. Marah yang tercela adalah marah sebagai tindakan balas dendam demi
dirinya sendiri. Namun, meskipun demikian Allah SWT dan Rasulullah SAW memerintahkan
umat Islam untuk menahan marah, karena marah adalah gejolak yang ditimbulkan
oleh setan. Marah mengakibatkan berbagai bencana dan malapetaka yang tak
seorangpun mengetahuinya melainkan Allah Subhanhu Wa Ta’ala.
Nabi
Muhammad tidak pernah menunjukkan kemarahan Baginda terhadap golongan
kafir Quraisy yang sentiasa bertindak di luar batasan terhadap kaum Muslimin.
Bahkan, Baginda senantiasa bercakap dengan lemah lembut dan penuh hikmah.
Hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِيْ. قَالَ (( لاَ تَغْضَبْ )) فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Berikanlah nasihat kepadaku.’ Beliau berkata: ‘Janganlah engkau marah.’ Orang itu mengulangi permintaannya beberapa kali, beliau tetap berkata: ‘Janganlah engkau marah.’”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِيْ. قَالَ (( لاَ تَغْضَبْ )) فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Berikanlah nasihat kepadaku.’ Beliau berkata: ‘Janganlah engkau marah.’ Orang itu mengulangi permintaannya beberapa kali, beliau tetap berkata: ‘Janganlah engkau marah.’”
[HR.
Al-Bukhari kitab al-Adab, bab al-Hadru minal Ghadab (no. 6116)]
Jadi,
kesimpulan dari artikel saya kali ini
adalah, sebelum kita tanyakan apakah ada marah yang beretika, tanyakan dan pikirkanlah
terlebih dahulu bagaimanakah cara yang dapat kita lakukan untuk menahan dan
meredam amarah tersebut.
Demikian
sedikit opini saya pada hari ini, semoga bermanfaat. Dan satu hal yang perlu
diingat bahwa saya hanya sebagai manusia biasa, hanya bisa beropini dan terus
berusaha untuk mencari ilmu –ilmu baru yang berpegang teguh pada kebenaran, dan
sesungguhnya hanya Allah SWT-lah yang
Maha Benar.
Referensi :
-
Bahan Ajar Prodip 1 Pajak Etika Profesi
- https://books.google.co.id/books?id=XyvwR8lo-XMC&pg=PA196&lpg=PA196&dq=marah+dengan+etika&source=bl&ots=PanUUkLfpu&sig=IsggJPbTTqBNMPLH-uKWlsAq-A0&hl=en&sa=X&ei=7bIqVdv7J8KjugTtnYHgDw&redir_esc=y#v=onepage&q=marah%20dengan%20etika&f=false
(Ebook-learnig, Seni Mendidik Islami
Oleh Baqir Sharif al Qarashi)
- http://almanhaj.or.id/content/4027/slash/0/marah-dan-hakikatnya-dalam-islam/
Komentar
Posting Komentar